DALAM suatu
diskusi di media internasional diperdebatkan antara mana yang lebih dibutuhkan
antara media konvensional dan media baru. Awalnya, media baru yang mengandalkan
hanya pada infrastruktur online melayani pasar kalangan muda dan ingin mendapat
berita secara cepat. Namun perkembangan selanjutnya, media konvensional ikut
terpengaruh pada mode akses dan model pemberitaan yang cepat. Secara umum media
konvensional mengalami tekanan untuk merubah model penyajiannya. Penurunan
jumlah dan kematian media konvensional terus terjadi di seluruh dunia.
Media
konvensional adalah yang membuat tulisan mengandung ulasan dan disajikan secara
utuh. Sedangkan media baru adalah media dengan sajian cepat, tidak hanya
caranya menjangkau melalui online, tetapi juga dalam memberitakan sesuatu dalam
kerangka “real time”. Dengan cara seperti itu, berita disajikan secara sepotong
potong.
Secara
organisasi, media konvensional mebutuhkan modal dan sumber daya yang besar. Hal
ini juga berimplikasi pada bentuk pengelolaan. Termasuk di dalamnya mengelola
hubungan dengan berbagai kelompok dan individu yang strategis. Otak dari arah
media ditentukan dari tim redaksi yang dipilih berdasarkan pengalaman yang
panjang.
Media
baru tidak membutuhkan kerumitan di atas. Media baru bisa didirikan dengan
modal kecil. Media baru mungkin hanya dipimpin satu atau dua orang yang
mengerti media. Sisanya adalah orang-orang yang cukup punya kemampuan untuk
membuat laporan singkat. Karena organisasinya lebih kecil dan lentur, maka
banyak kesempatan bagi banyak kelompok untuk membuat online media. Mereka
memenuhi segmen pemirsa berdasarkan beragam tema dan kombinasi berita.
Para
pendukung media baru mengatakan bahwa media baru mendemokratisasikan berita
karena lebih mudah mengangkat tema dan sudut pandang yang berbeda. Bagi
sebagian, ini menunjukkan bahwa media baru mendorong demokrasi. Di Indonesia,
sering dikatakan bahwa media sosial mempunyai kemampuan melakukan perlawanan
sosial terhadap para pejabat publik, seperti kasus Prita dan “Cicak Lawan Buaya”
yang fenomenal.
Di
pihak lain, media konvensional mengatakan bahwa masyarakat membutuhkan berita
yang bisa dipercaya. Berita yang sebelumnya mengalami pembahasan oleh tim
redaksi. Berita dibuat berdasarkan pengalaman dalam mempertimbangkan sudut
pandang, pertimbangan tentang seberapa jauh terdapat ketidakpastian,
pengetahuan tentang individu dan kelompok strategis yang diperoleh dari
kemampuan redaksi menjalin hubungan yang panjang, pertimbangan tentang dampak
sosial politik dan sebagainya. Tentu harus dicatat bahwa tidak semua media
konvensional melakukan dengan baik.
Singkatnya,
media konvensional beragumen bahwa media yang menopang demokratisasi adalah
media yang bisa dipercaya. Seperti yang pernah diungkap Steve Jobs, salah
seorang visioner besar yang pernah ada, membaca media konvensional memberikan
“pengalaman” yang setelah itu pembaca merasa “telah mengetahui sesuatu” (Gary
Thomson, The Independent, 24 Mei 2013).
Perasaan
ini tidak diperoleh dengan media baru yang membeikan berita secara lebih segmental
dan dikeluarkan secara cepat. Pembaca juga sering merasa belum yakin jika belum
membaca dari media konvensional jika menyangkut berita tertentu yang dianggap
penting dan rentan terhadap kepentingan politik atau memiliki dimensi persoalan
yang lebih rumit.
Jadi,
manakah media yang diperlukan Indonesia untuk demokrasi dan kemajuan? Apakah
media baru lebih efektif mendorong demokrasi?
Jawaban
dari pertanyaan ini harus dimulai dari kondisi di kedua jenis media sebagai
suatu organisasi yang memberikan sesuatu pada masyarakat. Media baru bertujuan
memberikan berita yang “real time”. Mereka memang tidak ditujukan memberikan
berita yang memiliki konteks dan analitis. Cara seperti ini tampak sesuai
dengan kebutuhan orang muda di perkotaan yang memiliki waktu sedikit. Hal ini
tidak buruk pada dirinya, akan tetapi bisa membuat dampak buruk. Dalam hal ini
media baru memperkuat kultur cara memperoleh pengetahuan yang mudah, banal, dan
tidak meningkatkan daya reflektif warga negara.
Memang
media sosial dan media baru mempunyai kemampuan memobilisasi pendukung dalam
isu publik tertentu. Hal ini dimungkinkan karena daya jangkaunya yang sangat
cepat. Namun seberapa jauh kemampuan semacam ini mampu mendorong kemampuan
demokrasi warga negara? Hal ini ditunjukkan oleh suatu studi serius oleh
Merlyana Lim (Contemporary Asia, 2013). Studinya menunjukkan bahwa media sosial
membutuhkan nilai ikonik agar emosi dan partisipasi muncul. Partisipasi yang
dihasilkannyapun sesungguhnya rendah karena hanya soal mengklik tombol key
board. Media baru mendorong kultur cepat dan banal ini: pertama karena suplai
berita yang terus menerus mengesankan adanya pergerakan; kedua, karena tidak
mendorong partisipasi yang lebih bermakna dan berbasis nyata (bukan virtual).
Bagaimana
kondisi media konvensional di Indonesia? Media ini masih merupakan sarana
tekanan politik yang penting karena masih memiliki gagasan tentang “media
sebagai kaki keempat demokrasi. Pemimpin media masih diperhitungkan oleh
berbagai aktor politik. Para pemain politik akan berusaha tampil di media
konvensional. Media konvensional memberikan arena yang dianggap serius dan
absah. Hal ini terkait dengan skema acaranya. Misalnya, dalam acara talk show
diundang sejumlah orang dengan posisi yang berbeda untuk saling menilai.
Akan
tetapi apakah media konvesional sudah menjalankan perannya dengan baik dalam
demokratisasi. Tidak. Persoalan yang mendasar adalah bahwa media konvensional
di Indonesia masih menjalankan peran lama yang tidak cukup lagi menghadapi
persoalan demokrasi di Indonesia. Mengangkat berita secara terbuka tidak lagi
berarti kontrol dalam mendorong demokratisasi Indonesia. Media harus merubah
kerangka peran sosialnya.
Pertama,
media harus menegakkan kembali kredibilitasnya sebagai arena pendidikan
politik. Misalnya dalam media televisi, talk show berisi penegakkan kembali
kerangka norma yang menopang demokrasi dan kesejahteraan publik. Aktor politik
yang mempunyai track record diragukan dan sering membuat argumen kosong
seharusnya tidak perlu diundang dengan alasan memberikan kesempatan yang sama.
Kenyataannya, orang-orang ini membuat suatu acara ditinggalkan penontonnya
karena memusingkan dan tanpa arah.
Ketiga,
narasumber lain yang dipanggil juga harus kompeten dalam memberikan perspektif
baru. Pandangannya harus luas dan argumennya memiliki dasar. Adalah lebih baik
jika didasarkan pada data dari penelitian. Para sumber harus dapat mengajukan
solusi yang realistis, setidaknya dari aspek tertentu saja. Juga sangat penting
meninjau kemampuan intelektual pengarah acara dan pembawa acara. Sangat sering
mereka tidak mampu mengkonstruksikan persoalan yang dibahas. Perbaikan ketiga
dan keempat menyangkut baik media televisi maupun media konvensional lainnya
(seperti koran).
Perubahan
orientasi kedua media konvensional dalam mendorong demokratisasi adalah
memperluas perannya dari hanya memberikan pendidikan politik. Komunitas media
harus membangun kapasitas warga negara secara umum. Misalnya, organisasi media
membuat kode etik yang membuat kategori acara mana yang dianggapmencerdaskan
dan tidak mencerdaskan. Media konvensional juga menghidupkan kembali
pilihan-pilihan moral yang merupakan bagian dari industri media, dan tidak
sekedar membahas tentang konsekuensi politik jangka pendek.
Meuthia
Ganie-Rochman, sosiolog organisasi, mengajar di Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar