JULY
7, 2008 · 10:21 AM : Penulis : samiaji bintang
Tarmizy
Harva memotret selebritis Jakarta hingga konflik Aceh. Tahun 2004 ia
dianugerahi penghargaan dari World Press Photo
![]() |
Tarmizy Harva |
MALAM
ITU, pertengahan Februari 2008, sejumlah wartawan muda berkumpul di halaman
Kantor Berita Antara biro Banda Aceh. Kantor ini tak jauh dari Masjid Raya
Baiturrahman. Ini tempat kumpul-kumpul mereka saban sore, seusai liputan.
Seorang
wartawan dikerubungi rekan-rekannya. Ia tengah membalik-balik halaman buku
berjudul Inferno. Buku itu seukuran tabloid, bersampul hitam. Inferno, artinya
neraka, dalam bahasa Indonesia.
Inferno
memuat foto-foto hasil jepretan James Nachtwey, seorang fotografer kelas dunia yang
kerap bekerja di wilayah perang. Beberapa kali Nachtwey diganjar penghargaan
bergengsi untuk karyanya.
Di
buku itu Nacthwey memotret anak-anak yang terjangkit HIV dalam asilum di
Rumania, jejak kebiadaban perang di Rwanda, maupun orang-orang kelaparan di
Somalia. Ia juga membidik perang etnik dan kuburan massal di Bosnia.
“Benar-benar
jahanam!” umpat lelaki itu, sembari menggeleng.
Jari-jarinya
sibuk menguncir rambut panjang ikalnya. Matanya kemudian tertuju pada kumpulan
wartawan muda yang tengah memperhatikan isi buku tersebut. Ada yang menutup
mulut dengan tangan. Ada yang geleng-geleng.
Lelaki
yang mengumpat itu bernama Tarmizy Harva. Ia membeli buku itu lewat seorang
sahabatnya yang tengah berada di Singapura. Harganya cukup mahal, sekitar 125
dolar.
“Saya
butuh waktu dua hari memperhatikan detail tiap foto-foto di situ. Dan tiap
selesai satu halaman, rasanya mau langsung ke lapangan. Hunting foto,” ujarnya
terkekeh.
Selain
kagum pada karya Nacthwey, ia juga kagum pada profesionalisme sang fotografer.
Di film dokumenter The War Photographer terlihat bagaimana Nachtwey bekerja
dengan kameranya. Dingin. Teliti. Rapi. Dekat sekaligus berjarak dengan objek.
Beberapa
hari setelah Aceh dilanda tsunami, Nachtwey terbang ke Aceh. Tarmizy pun
melihat langsung bagaimana Nachtwey bekerja. Tapi ia tak sempat menyapa
fotografer idolanya. Tak ada waktu. Masing-masing sibuk dengan kamera.
Memotret, memotret, dan memotret.
GUNUNG
SIBAYAK, dataran tinggi Karo, 1991. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang.
Edward Sinaga bersama sejumlah sahabatnya menyelenggarakan lomba mendaki gunung
berketinggian di atas 2000 meter itu. Edu, begitu panggilannya, adalah wartawan
harian Poskota di Medan. Ia dekat dengan komunitas mahasiswa pecinta alam di
Medan. Ia juga dikenal para mahasiswa sebagai salah seorang senior dalam
fotografi.
Edu
melihat seorang mahasiswa berbadan agak tinggi, berambut gondrong. Pemuda itu
adalah pemenang pertama untuk kategori perorangan. Edu berkenalan dengannya.
Nama lengkap si mahasiswa, Tarmizy Harva. Ia kuliah di tingkat tiga jurusan
Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara (USU).
Setelah
itu, Edu makin akrab dengan Tarmizy. Suatu ketika ia main ke tempat kos Tarmizy
dan melihat beberapa lukisan karya si pemilik kamar.
Edu
berpikir untuk mengajaknya belajar fotografi. Alasannya kuat, Tarmizy sudah
memiliki dasar pengetahuan di bidang lukis.
“Karena
dia sudah lebih paham tentang warna, komposisi dan lain-lain,” kata Edu.
Akhirnya
Edu benar-benar mengajak Tarmizy mempelajari fotografi. Edu menjemputnya untuk ikutan
klab fotografi. Tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Tarmizy. Alasannya, ia
belum tertarik dengan dunia potret-memotret.
“Hobi
fotografi sangat mahal. Apalagi saya juga belum punya kamera,” kilah Tarmizi.
Edu
menawarkan kamera miliknya untuk dipinjam Tarmizy. Sebuah kamera otomatis. Tapi
Tarmizy menolak.
Pada
1993, Tarmizy akhirnya membeli sebuah kamera dari hasil tabungannya menjalani
usaha sablon. Kamera itu merek RICOH. Kini gilirannya mendatangi rumah Edu.
Tarmizy menunjukkan kamera yang menurutnya kamera bagus.
“Bagaimana
menurut Abang?” tanya Tarmizy.
Edu
mengamati kamera itu.
“Kamera
kaleng cebok kau beli!”
“Awas
Abang!” sungut Tarmizy. Kecewa bercampur marah. Tapi minatnya terhadap
fotografi justru tak surut.
“Nanti
aku beli yang bagus!”
“Cari
kamera yang lain lah. Kalau bisa Canon FM2 atau Pentax K1000,” kata Edu.
Menurut
Edu, kamera itu tak akan bisa mendukung kemajuan Tarmizy di bidang fotografi.
Malah, Edu khawatir, gara-gara kamera itu Tarmizy bakal menyurutkan niatnya
mendalami fotografi. Setelah pertemuan itu Edu tak lagi bicara masalah
fotografi.
Menjelang
akhir 1996, seorang teman Tarmizy menjual kamera Pentax K1000. Harga barang
second itu sekitar Rp 250 ribu. Ini salah satu kamera yang direkomendasikan
Edu. Namun Tarmizy tak gegabah. Sebelum membelinya, ia mesti memeriksa kualitas
barang itu lebih dulu. Apalagi, ia masih awam soal kamera. Tarmizy kembali
mendatangi rumah Edu dan menunjukkan kamera bekas itu. Setelah mendengar
komentar “kamera kaleng cebok”, Tarmizy menganggap Edu seperti dokter kamera
baginya.
“Bang,
coba periksa dulu deh yang ini.” Tarmizy menyodorkan kamera Pentax K1000.
“Oke.
Ini bagus.”
Tarmizy
terpaksa mengambil tabungan dari hasil usaha sablon untuk memiliki kamera
tersebut. Dua hari setelah itu, Tarmizy kembali mendatangi Edu dan menyatakan
keinginannya belajar fotografi. Ketika itu klab fotografi yang dibina Edu sudah
bubar.
Dari sekitar 10 anggotanya, tak satu pun yang ‘mengorbit’.
“Kau
serius mau belajar?” tanya Edu.
Tarmizy
mengiyakan.
“Kalau
kau memang serius, oke!” Edu melanjutkan. Ia memberi Tarmizy diktat tipis
tentang fotografi yang ia buat sendiri; catatan yang difotokopi. Isinya cukup
sederhana dan mudah dipelajari. Misalnya, soal istilah fotografi dan bagaimana
mengatur cahaya.
Tarmizy
membaca panduan itu sambil mempraktikkannnya dengan kamera. Ia mendiskusikan
foto yang dihasilkannya dengan Edu. Setelah dua-tiga kali pertemuan, Tarmizy
tak lagi menemui Edu.
Pada
September 1997, Tarmizy mengirim foto hasil jepretannya untuk ikut lomba foto
olahraga tingkat nasional. Lomba tadi memperebutkan piala Menteri Pemuda dan
Olahraga Hayono Isman. Beberapa minggu kemudian, Tarmizy dapat telegram. Ia
jadi juara harapan kedua. Ia kembali mendatangi rumah Edu, mengabarkan
kemenangannya. Mentornya itu pun turut bangga.
AWAL
1998, sejumlah mahasiswa USU yang antusias dalam fotografi berkumpul di rumah
Andi Kurniawan Lubis di kawasan Ayahanda, pusat kota Medan. Lubis redaktur foto
harian Analisa Medan. Mereka berniat membentuk perkumpulan fotografi. Mereka
bikin rapat. Mereka berdiskusi di kantor sekretariat Kelompok Lingkungan
Sangkala. Mahasiswa-mahasiswa ini sepakat mendirikan Forum Studi Fotografi
Merdeka. Di antara mereka yang hadir itu tampak Hotli Simanjuntak dan Tarmizy
Harva.
Namun,
Tarmizy hanya sempat mengikuti beberapa kali kegiatan perkumpulan fotografi
itu. Ia malah membentuk klab fotografi sendiri bersama lima teman. Klab itu
bernama Siluet Fotografi. Kantor sekretariatnya di Jalan Multatuli Medan dan
Jalan Sriwijaya 80. Ini klab komersil. Tarmizy dan kawan-kawan ikut mengajukan
proposal ke panitia World Rally Championship awal tahun 1998 di Medan. Proposal
mereka diterima.
Tugas mereka mendokumentasikan kegiatan reli internasional
ini.
“Kami
ketemu lagi di UKM (unit kegiatan mahasiswa) Fotografi USU,” kisah Hotli.
Saat
itu anggota-anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Fotografi rajin meliput aksi
demonstrasi mahasiswa di Medan. Menjelang Mei 1998, amarah mahasiswa di hampir
seluruh Indonesia tengah memuncak. Begitu juga di Medan. Mereka turun ke jalan.
Menuntut diktator Suharto turun. Memprotes korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
dipopulerkan Suharto dan anak-anaknya. Aksi-aksi kolosal mahasiswa itu jadi
momen penting untuk membangun kemampuan dalam memotret.
“Saya
dan Tarmizy jadi sering hunting foto bareng dan bikin pelatihan,” kenang Hotli.
Sebagian
fotografer amatir ini mengirim foto-foto hasil jepretan mereka ke media lokal.
Ada sebuah kebanggaan bila karya mereka dimuat media massa. Ada yang mulai
tertarik untuk bekerja di media. Dan memilih tidak meneruskan kuliah. Tarmizy
juga ikut tergoda. Tapi ia sudah kepalang berjanji pada sang ayah, Sofyan
Harva, untuk menyelesaikan studi lebih dulu.
“Saya
berdoa, kalau saya tamat saya harus lebih dari teman-teman. Bekerja untuk media
nasional,” katanya.
Tahun
1999 awal, ketika badai reformasi pelan-pelan mereda, Tarmizy berhasil
mengantongi gelar sarjana teknik setelah delapan tahun kuliah di jurusan Teknik
Sipil USU. Janjinya kepada sang ayah terpenuhi. Ia juga menikahi Nilasari,
perempuan yang dikenalkan seorang sahabatnya.
Tak
lama setelah lulus, Bambang Sudjiartono, reporter majalah mingguan Tempo di
Medan mengajak Tarmizy menjadi kontributor foto di Medan. Tawaran itu seperti
jawaban atas doanya. Namun, bekerja untuk sebuah mingguan nasional beroplah
besar tak berarti honornya juga besar. Foto yang dimuat juga amat jarang.
Selain menjadi kontributor foto, buat menutupi kebutuhan, Tarmizy nyambi kerja
di perusahaan konstruksi. Tapi ia tak tahan dengan kerja sambilan ini. Ia ingin
jadi fotografer lebih serius dan berharap bisa terbang ke Jakarta. Di sana
media-media raksasa berkumpul dan berebut iklan hingga pelanggan. Dari koran,
tabloid, majalah, situs, radio hingga televisi. Gemerlap industri media di kota
ini pun jadi magnet bagi orang-orang muda di luar Jawa.
“Kayaknya,
jadi fotografer kalau nggak di Jakarta nggak seru,” gumamnya.
Kesempatan
itu mulai terbuka pada Februari 2000 saat majalah mingguan Gamma buka lowongan
untuk posisi fotografer. Meski ragu bakal lolos, ia segera kirim lamaran. Tak
lama setelah itu ia menerima telepon dari Jakarta, panggilan untuk wawancara.
Ia segera terbang ke Jakarta dan menginap di rumah Dedy Mahdan di bilangan
Ciputat. Keduanya bersahabat sejak sama-sama di USU dan bergabung di UKM
fotografi. Dedy juga meminjamkan kamera Nikon F-4 agar Tarmizy bisa mengikuti
sederet ujian masuk.
Setelah wawancara, psikotes, dan… akhirnya, Tarmizy
berhasil.
Enam
bulan kontrak pertama di Gamma, Tarmizy ditugaskan memotret untuk halaman
ekonomi dan teknologi informasi. Kariernya naik. Ia diangkat sebagai karyawan.
Tapi tugasnya berubah. Kini ia dipercaya rekan-rekannya memotret untuk halaman
hiburan. Ia membidik wajah-wajah artis sinetron, penyanyi, hingga presenter
ternama. Tapi ia juga kerap alpa nama-nama selebritis yang ia potret. Alhasil,
ia kerap dikibuli rekan-rekan sesama wartawan karena kekurangannya ini.
Tantangan
meliput dunia glamor itu hanya bertahan dua bulan. Saban akhir pekan, para
selebritis justru banyak acara. Ia mengeluh tak bisa istirahat. Kejenuhan
melanda. Ia berdoa agar bisa bekerja di kantor berita asing. Ia berharap agar
foto-foto hasil jepretannya bisa dimuat lebih luas. Melampaui batas Indonesia.
JAKARTA,
FEBRUARI 2002. Telepon seluler Tarmizy berbunyi. Peneleponnya adalah Enny
Nuraheni. Ia adalah chief photographer kantor berita Reuters. Enny
mengungkapkan bahwa Reuters butuh fotografer untuk meliput konflik di Aceh.
Saat itu situasi Aceh tengah panas. Militer Indonesia mengadakan operasi hingga
ke kampung-kampung. Kontak senjata terjadi hampir tiap hari. Sekolah dibakar.
Warga ketakutan. Konflik Aceh menjadi sorotan media-media nasional dan internasional.
“Kamu
mau nggak?” Enny bertanya.
Tarmizy
agak kaget. Tawaran itu datang begitu cepat, meski ia sebelumnya pernah
mendengar kabar serupa dari Arbain Rambey. Arbain menjabat kepala biro Kompas
untuk Sumatera Bagian Utara yang meliputi wilayah Aceh, Sumatera Utara, Riau
dan Sumatera Barat. Kantornya di Medan. Ia juga ketua umum Pewarta Foto
Indonesia. Arbain akrab dengan komunitas pecinta fotografi di Medan. Arbain
menceritakan kekosongan posisi fotografer untuk meliput Aceh di kantor Reuters.
Lewat Arbain pula, Enny mendapat nomor telepon seluler Tarmizy.
“Sebentar
Mbak. Kasih saya waktu seminggu,” balas Tarmizy. “Saya mesti bicara dengan
keluarga dulu.”
Tarmizy
segera menghubungi Nilasari di Medan. Tawaran ini memperpendek jarak Tarmizy
dengan keluarganya. Jarak Medan-Aceh tak terlalu jauh dibanding Medan-Jakarta.
Meski begitu, risiko meliput di konflik Aceh jauh lebih berbahaya ketimbang
meliput wajah dan aksi glamor selebritis Jakarta.
“Kalau
kamu memang yakin, saya dukung.” Nilasari merestui.
Beragam
pertimbangan dikumpulkan. Tarmizy juga menghubungi kawan lamanya, Hotli
Simanjuntak yang lebih awal berada di Aceh. Hotli bekerja sebagai stringer
fotografer untuk kantor berita Agence France-Presse (AFP). Arbain Rambey
merekomendasikan Hotli ketika kantor berita asing itu mencari fotografer untuk
liputan Aceh. Hotli jadi stringer pertama untuk kantor berita asing yang
bertugas di Aceh. Tarmizy menanyakan seputar kondisi Aceh. Persoalan keamanan
bagi wartawan, liputan, hingga masalah penghasilan sebagai stringer kantor
berita asing tak luput ia tanyakan.
Seminggu
kemudian, giliran Tarmizy menelepon Enny dan menyatakan kesediaannya jadi
stringer di Aceh. Enny memintanya ikut pelatihan singkat di kantor Reuters di
Jakarta. Selama sepekan, Enny membekali Tarmizy dengan pengetahuan tentang
foto-foto berita untuk konsumsi internasional. Sebab, angle foto-foto untuk
majalah berbeda dengan kantor berita asing. Tarmizy juga diajarkan bagaimana
memindai foto film negatif dan mengedit foto dengan Photoshop, peranti lunak
pengolah citra, yang selama di Gamma tidak pernah ia pelajari.
Selama
pelatihan, Tarmizy masih tetap bekerja di Gamma. Alasannya, jika ia tidak
kerja, praktis tidak punya penghasilan. Ia menggunakan kamera Gamma selama
pelatihan. Sebab di Reuters para stringer harus memakai kamera sendiri. Ia amat
beruntung ketika kawan-kawannya di Gamma bersedia meminjamkannya kamera. Namun
Enny meminta agar Tarmizy keluar dulu dari Gamma. Tarmizy menyanggupi. Tapi
Enny seperti belum percaya bila ia sudah mengundurkan diri dari Gamma.
“Kamu
betul sudah keluar dari Gamma?”
“Sudah.”
“Itu
kamera siapa?”
“Gamma.”
“Kalau
sudah keluar kenapa masih pakai kamera Gamma?”
“Syukurnya,
dalam bekerja saya selalu jujur. Setelah saya keluar masih dipercaya untuk
dipinjamkan. Apa perlu besok saya bawa surat pengunduran diri saya?”
“Oh,
nggak perlu.”
MEDAN
KONFLIK di Aceh ibarat neraka dibanding surga panggung gemerlap selebritis
Jakarta. Tarmizy dipaksa beradaptasi. Wangi parfum dan wajah cantik berganti
amis darah dan wajah-wajah penuh luka dan amarah. Ia berada di Aceh pada akhir
April 2002 dan mulai 1 Mei Reuters resmi mengontraknya. Tapi untuk mendapat
foto yang memenuhi standar internasional juga tak gampang dipahami fotografer
pemula. Bekal ilmu pelatihan kilat di kantor Reuters tak cukup. Selama hampir
dua bulan pertama berada di Aceh tak satu pun foto Tarmizy diterbitkan Reuters.
Di
Jakarta, Enny kerap mengeluhkan hasil jepretan Tarmizy. Mereka sering adu
mulut. Yang paling sering masalah angle foto. Tarmizy nyaris patah arang. Namun
beberapa seniornya, seperti Edward Sinaga dan Arbain Rambey, memberikan
semangat lewat telepon. Pelan-pelan, Enny juga terus memandunya. Mereka ibarat
dosen jarak jauh.
“Dia
mau belajar walau selalu saya kritik terus-menerus. Tidak cepat sakit hati
kalau saya gembleng. Lama-lama keindahan imajinasi dia mulai keluar untuk
mencipta karya yang bagus,” ujar Enny. Ia bahkan kerap meminta Tarmizy memotret
ulang jika foto itu tidak sesuai standar Reuters.
Hasil
jepretan Tarmizy mulai banyak diterbitkan saat meliput kontak senjata antara
tentara Indonesia dan pasukan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM di daerah Lhoknga,
Aceh Besar. Lalu foto-foto patroli tentara Indonesia ke kampung-kampung.
Foto-foto itu banyak dimuat media-media nasional dan internasional yang
berlangganan Reuters.
Tarmizy
makin dekat dengan daerah pertempuran.
Pada
November 2002, di bawah komando Brigadir Jenderal Bambang Dharmono, tentara
Indonesia mengepung 50-an anggota pasukan GAM di desa Paya Cot Trieng, Aceh
Utara. Beberapa wartawan dibolehkan meliput ke lokasi pengepungan setelah
mendapat izin petinggi militer Indonesia di sana.
Malam
itu Tarmizy masih berada Medan. Begitu mendengar berita itu, esok paginya ia
buru-buru naik angkutan minibus L-300 menuju Aceh Utara. Tapi ia terlambat dua
jam. Rombongan rekan-rekannya sudah masuk ke lokasi lebih dulu. Dalam angkutan,
lewat sambungan telepon seluler, ia menghubungi seorang teman wartawan. Ia
disarankan agar tidak nekad masuk ke lokasi tanpa ada orang wartawan lain.
Jaminan keamanan nihil.
“Riskan
sekali! Jangan sendirian masuk,” ujar sang teman.
Tarmizy
mengabaikan saran itu. Ia ngotot naik ojek masuk lokasi. Mereka melewati pos
pemeriksaan yang tak jauh dari kedai kopi.
“Bang,
Abang tunggu di sini. Aman nggak?” katanya kepada tukang ojek.
“Kalau
saya aman, Abang juga aman,” balas tukang ojek.
Sebelum
masuk ke lokasi, ia menitipkan barang-barang yang menurutnya tak akan
dibutuhkan selama meliput ke pemilik kedai. Barang yang dibawa hanya sebuah
kamera saku digital yang baru ia beli, telepon genggam dan laptop.
Di
pos, tentara menggeledah isi tas yang dibawa Tarmizy. Seorang petugas memeriksa
nomor-nomor dalam telepon genggamnya. Petugas pos menanyakan identitas pemilik
nomor itu satu persatu. Ini makin memperpanjang keterlambatannya menuju lokasi
pengepungan. Kehilangan momen adalah musuh bagi para fotografer. Ia dituntut
menjadi saksi mata di lapangan saat peristiwa penting berlangsung.
Tarmizy
cari akal buat mengalihkan perhatian petugas. Ia menjatuhkan tas laptop.
Menyenggol sepatu lars petugas. Sibuk membereskan isi tas. Petugas akhirnya
mengembalikan telepon genggam Tarmizy. Mereka mengizinkan Tarmizy masuk setelah
melaporkan ke komandannya yang berada di lokasi lewat radio. Di sana sudah ada
Bambang Dharmono, panglima komando operasi. Orangnya tegas. Tubuhnya tegap dan
tinggi. Disiplin, dan dikenal dingin terhadap wartawan.
Pengepungan
berlangsung selama 40 hari. Tarmizy mengambil gambar aksi tentara Indonesia.
Foto-foto itu segera dikirimnya ke kantor Reuters di Jakarta. Media-media cetak
nasional menerbitkan foto-foto tersebut. Harian Kompas edisi 20 November 2002,
misalnya, memuat foto lima tentara berpakaian lengkap dan senapan berjajar
siaga. Foto itu dimuat di halaman satu. Hari berikutnya, harian itu juga memuat
foto Tarmizy yang menampilkan seorang kakek tengah menuntun sepedanya yang
mengangkut anyaman atap rumbia. Warga desa Paya Cot Trieng tersebut melintas di
sebelah panser baja. Di hari akhir pengepungan, Tarmizy memotret sekitar
1000-an tentara Indonesia berseragam hijau loreng berkumpul dan menyanyikan
lagu-lagu patriotik buat membakar semangat. Foto itu dimuat harian berbahasa
Inggris The Jakarta Post pada 11 Desember 2002.
PESISIR
PANTAI timur Aceh adalah salah satu titik panas bagi wartawan. Daerah ini
membentang dari Banda Aceh hingga Aceh Timur. Setelah pemerintahan Megawati
Sukarno resmi menetapkan Darurat Militer di Aceh, tentara berseragam bersenjata
lengkap dan kendaraan lapis baja keluar-masuk kampung-kampung. Operasi militer
dan kontak senjata berulangkali pecah di sekitar pesisir ini.
Pertengahan
Juni 2003, beberapa wartawan lokal dan nasional menginap di Hotel Vinavera dan
Wisma Kuta Karang, Lhokseumawe. Sebelum berangkat meliput, sambil menyeruput
kopi dan sarapan, diadakan rapat tak resmi di warung kopi. Ersa Siregar,
wartawan stasiun televisi RCTI yang belakangan tewas tertembak, kerap memandu
pertemuan pagi.
Saat
itu tersiar kabar William Nessen tengah bersama pasukan GAM di daerah Nisam,
Aceh Utara. Billy, panggilan akrabnya, adalah wartawan lepas asal Amerika
Serikat. Ia memotret panglima GAM Muzzakir Manaf, mewawancarai Sofyan Dawood,
atau ikut dalam gerilya pasukan GAM. Ia wartawan yang berhasil menembus ke
sarang GAM. Tapi kedekatannya dengan GAM malah membuat curiga militer
Indonesia. Billy dianggap membantu perjuangan pasukan GAM. Militer Indonesia
memerintahkan Billy keluar dari sarang GAM dan menyerahkan diri. Bukan cuma
itu, ia juga diwajibkan angkat kaki dari Aceh. Militer Indonesia mengerahkan
pasukan ke Nisam. Konsentrasi untuk persiapan dan penjagaan selama penyerahan.
“Ayo,
kita lihat ke sana,” usul Ersa. Wartawan ini tak hanya dihormati karena lebih
senior. Naluri dan pengalaman kewartawanannya sering menjadi pelajaran bagi
wartawan muda. Aksi penyerahan wartawan asing dan konsentrasi tentara Indonesia
di Nisam adalah berita cukup penting untuk media internasional.
“Oke,
boleh,” sambut Tarmizy, sepakat.
Konvoi
kendaraan minibus yang ditumpangi para wartawan segera meninggalkan kedai kopi.
Laju kendaraan minibus yang disewa Tarmizy tak mampu menembus angka 60
kilometer per jam. Selain sopir,di dalam mobil itu ada dua wartawan lokal yang
bersama Tarmizy. Mobil kerap keteter dari rombongan, sampai akhirnya mereka
betul-betul jauh tertinggal.
Saat
mencapai daerah Nisam, hampir di tiap persimpangan Tarmizy terpaksa turun dan
bertanya ke mana konvoi kendaraan wartawan berbelok. Di sebuah persimpangan,
Tarmizy turun dan menemui orang-orang tua yang berada di kedai kopi. Di Aceh,
hampir di tiap kampung ada kedai kopi. Tempat ini jadi ruang berkumpul dan
bertukar cerita. Tapi, konflik membuat para kaum muda kampung menyingkir, cari selamat,
ketimbang jadi sasaran tentara. Warga yang tersisa hanya kakek-kakek dan
nenek-nenek.
Tarmizy
bertanya kepada seorang bapak. Kulitnya putih, badannya kurus. Ia mengenakan
kaos oblong putih dan peci khas Aceh. Usianya di atas 60-an dan lancar berbahasa
Indonesia. Sebaliknya, meski orangtuanya berasal dari Indrapuri dan Montasik,
Aceh Besar, Tarmizy tak lancar berbahasa Aceh.
“Pak,
lihat rombongan mobil yang lewat sini? Tadi arahnya ke mana?”
Orang
tua itu ragu menjawab. Di pelosok Aceh, orang lokal yang berbahasa Indonesia
kerap dicurigai sebagai antek militer Indonesia. Salah omong, di masa konflik,
bisa berakibat mematikan. Cuak atau mata-mata ada di mana-mana.
“Saya
sedang mengikuti mobil rombongan wartawan.”
“Oh,
itu wartawan? Mereka ke kanan. Apa itu wartawan semua?”
“Iya.”
Tiba-tiba,
orangtua itu berbicara setengah berbisik.
“Bisa
nggak tolong belok ke kiri dulu? Tolonglah…”
“Ada
apa, Pak?”
“Penting
kali, tolonglah ke sana dulu, Nak!”
Suaranya
nyaris tidak terdengar. Mulutnya hampir tidak terbuka. Dua wartawan dan sopir
masih berada dalam mobil.
“Ada
apa, Pak?” Tarmizy bertanya lagi.
“Ada
orang meninggal di pohon,” ujarnya, sembari celingak-celinguk.
“Oh…”
Tarmizy agak ragu. “Tapi Pak, saya ini masih ada tugas lain di depan sana.
Nanti kalau sudah selesai, saya balik lagi.”
Orang
tua itu terus memaksa.
“Pak,
kalau di depan sana ada apa-apa, pertama saya ini sendiri. Ini menyangkut
keamanan saya. Kalau saya ke sana dapat berita tapi saya nggak aman, untuk apa,
Pak? Saya ke depan dulu, nanti saya ajak kawan-kawan ke sana.”
“Betul
ya, Nak? Saya minta tolong sekali.”
“Iya,
Pak. Saya janji.”
RISIKO
HILANG nyawa para wartawan di wilayah konflik tak pernah bisa dihargai
dengan apa pun. Ancaman bom hingga penculikan selalu menghantui kerja mereka.
International Federation of Journalist mencatat bahwa sebanyak 46 wartawan
tewas sepanjang tahun 2002. Kasus pembunuhan Daniel Pearl, reporter The Wall
Street Journal, pada 21 Februari 2002 adalah yang paling menggemparkan dunia.
Wartawan Amerika ini diculik dan dibunuh secara brutal ketika sedang melakukan
investigasi jaringan teroris internasional Al Qaeda di Pakistan. Lalu ada Beata
Pawlak wartawan asal Polandia yang ditugaskan harian Gazeta Wyborcza untuk
menggali jaringan teroris di Indonesia. Ia adalah salah satu dari 190-an korban
yang tewas dalam peristiwa ledakan bom Bali pada bulan Oktober 2002. Daftar ini
seperti alarm peringatan bagi wartawan agar bekerja lebih hati-hati.
Begitu
pula Tarmizy. Ia tak mau ambil risiko berbahaya dengan mendatangi lokasi “orang
meninggal di pohon”. Ia mesti mengajak beberapa rekannya untuk memeriksa
kebenaran informasi yang disampaikan orangtua di muka kedai kopi. Setelah
bertemu dengan rombongan kendaraan wartawan, ia mengabarkan hal itu ke seorang
rekannya. Tapi responnya negatif. Kabar itu ditanggapi sebagai isu belaka.
Tarmizy segera melontarkan laporan orangtua itu kepada Ersa Siregar.
“Di
mana?” tanya Ersa.
Tarmizy
buru-buru membeberkan lokasinya. Ersa setuju ke sana. Tapi ia tak punya banyak
waktu. Ersa mesti siaran sore hari. Ia juga mesti minta persetujuan wartawan
lain dalam rombongan.
“Kalau
kawan-kawan nggak mau, gimana?”
“Kalau
ada satu orang yang ikut, saya akan ke situ. Bang Ersa mau?”
“Oke.
Mobil kamu di depan.”
Siang
itu konvoi mobil segera menuju ke persimpangan dan mendatangi orang tua yang
sebelumnya ditemui Tarmizy. Mobil yang ditumpangi Tarmizy tiba lebih dulu. Lalu
mobil Ersa dan mobil lainnya. Ada sekitar tujuh kendaraan dengan total wartawan
lebih dari 20 orang.
“Di
mana lokasinya, Pak? Berapa jauh?” tanya Tarmizy.
“Terus
lurus, sebelum jembatan. Nggak sampai lima kilo.”
Tarmizy
segera berdiskusi dengan Ersa.
“Berapa
lama, Ji?”
“Nggak
sampai lima belas menit katanya, Bang.”
“Oke
bisa. Kalau kawan-kawan nggak bisa ikut, kita berdua,” balas Ersa.
Ternyata
perkiraan orang tua itu meleset. Lokasi itu jauh lebih dekat. Tempat ini berada
di wilayah Dusun Batee Leusung, Desa Seumirah, Nisam. Sepi. Tak ada rumah.
Kanan-kiri jalan ditumbuhi pohon pinang dan belukar setinggi paha. Tarmizy dan
Ersa turun dari mobil dan jalan pelan-pelan. Mereka bertemu seorang bapak dan
anak perempuannya. Abdullah Adam dan Farida. Belakangan diketahui, keduanya
adalah keluarga dari orang yang tewas di pohon.
“Di
mana, kak?”
“Arah
ke sana,” jawab Farida sambil menunjuk sebuah titik di kawasan kebun pinang
yang lama tidak terawat karena konflik.
Tarmizy
mendekati lokasi. Ersa di belakangnya. Teman-teman menunggu di mobil yang
parkir di pinggir jalan. Tiba-tiba langkah Tarmizy terhenti. Sekira 10 meter di
depan tempatnya berdiri, ia melihat sosok lelaki nyaris telanjang berkulit
kecoklatan. Lelaki itu hanya mengenakan celana dalam dan terikat di pohon
pinang. Lehernya yang terikat belitan kain kusam nyaris putus menahan berat
tubuhnya yang melorot jatuh ke tanah. Kedua tangannya terikat ke belakang.
Darah kental bercucuran dari wajah, dada, perut hingga ke kaki. Mulut tersumpal
alang-alang.
“Itu,
Bang.” Tarmizy tak melanjutkan langkahnya. Lemas.
“Mana?”
“Itu,
Bang. Di depan.”
“Mana?”
“Itu
di depan saya.”
Ersa
mendekat, tapi masih belum melihat. Pandangannya tertutup alang-alang.
“Yang
mana?”
“Itu,
Bang di depan saya!” Tarmizy menunjuk mayat lelaki itu.
Wartawan
yang berada dalam mobil kontan turun. Berhamburan mengelilingi tubuh korban.
Ambil gambar. Jeprat-jepret!
Tarmizy
masih syok. Ia baru sadar setelah wartawan lainnya mengambil gambar.
Setelah
kelar memotret, beberapa wartawan segera menghampiri dan mewawancarai Abdullah
Adam dan Farida. Ersa Siregar, Aboeprijadi Santoso dari Radio Netherland,
Zainal Bakri dari Tempo, Citra Dyah Prastuti dari Kantor Berita Radio 68H dan
wartawan lain. Mayat lelaki itu bernama Muzakkir Abdullah. Usianya sekitar
20-an tahun. Farida bercerita soal peristiwa penculikan adiknya oleh tentara
pada malam sebelumnya.
Tarmizy
masih sibuk memotret. Ia mengambil gambar dari beberapa sudut. Depan. Belakang.
Samping. Beberapa kerabat dan tetangga korban berdatangan. Membawa tikar pandan
dan kain. Farida dan perempuan lainnya bertangisan. Tarmizy memotret Farida
yang sesunggukan membersihkan darah di wajah mayat adiknya. Tarmizy memotret
mayat dari arah belakang. Seorang perempuan kerabat Farida, mengenakan sarung
dan menggendong bocah balita, memperhatikan Farida dengan wajah sedih.
Sebelumnya
Ersa juga mengingatkan agar kawan-kawannya mengambil dari belakang. Agar tidak
vulgar. Tapi ada juga wartawan yang memfoto dari depan. Akhirnya Tarmizy pun
ikut ambil dari depan. Ia membayangkan betapa brutal penyiksaan dialami pemuda
korban ini. Ketika tengah mengambil gambar, terlintas di benaknya mengapa mayat
ini tidak segera dilepas dari ikatannya. Ia kesal. Lantas bertanya kepada ayah
korban. Tapi, orang tua korban beralasan dengan mengutip perintah yang pernah
didengar dari tentara Indonesia agar tidak mendekati sesuatu yang aneh. Tarmizy
kontan mendesak agar ayah korban segera menghubungi kepala kampung dan semua
laki-laki di kampung. Meminta agar jenazah segera diurus dan dimakamkan.
“Ini
mumpung masih ada kami! Kalau nggak ada lagi kami di sini, kalian nggak berani
lagi.” Tarmizy tak bisa menahan emosi. Ia memperkirakan, Muzakkir tewas sekitar
12 jam lalu.
Tarmizy
mengambil gambar pelepasan ikatan jenazah. Ia berharap juga bisa
mendokumentasikan momen pemandian hingga pemakaman Muzakkir. Tapi Ersa yang
mengejar waktu tayang berita segera meninggalkan lokasi. Beberapa wartawan lain
ikut menyusul. Mobil yang ditumpangi Tarmizy lagi-lagi berada paling belakang.
Foto-foto dikirim menjelang magrib lewat sebuah wartel di Lhokseumawe. Listrik
putus, warung-warung internet tak memiliki generator listrik.
Selama
beberapa bulan hilir mudik melewati pesisir timur, dari Medan ke Banda Aceh
atau sebaliknya, Tarmizy kerap teringat foto jenazah Muzakkir Abdullah. Saban
mobil yang ditumpanginya melewati kebun-kebun pinang, ia selalu mengalihkan
pandangan.
JAKARTA,
PERTENGAHAN Januari 2004. Enny berdiskusi dengan Darren Whiteside, staf
fotografer, di kantor Reuters. Enny berniat mengikutsertakan isu konflik di
Aceh dalam World Press Photo. Pertimbangannya, sebagian isu Aceh menjadi
headline koran-koran dunia. Tahun 2003, bisa dibilang tahun perang. Dari invasi
Amerika ke Irak hingga Aceh menghiasi laporan media massa. Foto-foto dari
Reuters tentang konflik Aceh yang banyak dimuat media-media itu adalah foto
jepretan Tarmizy.
Enny
dan Darren berunding dan memilih foto-foto terbaik Tarmizy. Mereka sampai pada
kesimpulan untuk menyertakan foto pembantaian Muzakkir Abdullah di Nisam. Enny
segera menelepon Tarmizy. Ia minta file asli foto-foto itu.
“Untuk
apa?” sore itu Tarmizy berada di Medan.
“Untuk
diikutkan dalam lomba World Press Photo,” ujar Enny.
Malamnya,
untuk kedua kalinya setelah pengiriman foto pertama, Tarmizy melihat foto-foto
Nisam yang tersimpan di laptopnya. Ia segera memilih dan mengirimkan tiga-empat
foto ke alamat email Enny. File foto-foto itu berukuran cukup besar. Internet
lambat. Menjelang subuh foto-foto baru selesai dikirim.
Ini
ajang bergengsi paling besar untuk kontes fotojurnalistik. Pemerintah Belanda
amat mendukung kegiatan ini sekaligus mempromosikan wisata Belanda. Kontes ini
diadakan setiap tahun sejak 1955 untuk memilih foto-foto terbaik dari seluruh
dunia. Pengumuman hasil kontes disiarkan pada bulan-bulan awal setiap tahun.
Wartawan
Indonesia yang pernah menjadi dewan penasehat dalam kontes internasional ini
adalah Mochtar Lubis. Wartawan harian Indonesia Raya ini juga menjadi anggota
dewan juri pada tahun 1980. Beberapa wartawan Indonesia pernah mendapat
penghargaan bergengsi ini. Piet Warbung, wartawan Associated Press, dapat
penghargaan ini sekitar tahun 1967-an. Lalu Kartono Ryadi, wartawan Kompas,
bahkan dua kali memperolehnya, yaitu di tahun 1974 dan 1980. Zaenal Effendi,
wartawan harian Angkatan Bersenjata, yang kemudian bergabung di Kelompok Kompas
Gramedia, meraih penghargaan tadi tahun 1977. Donny Metri Darwin, wartawan
mingguan Tempo, meraihnya tahun 1993. Terakhir wartawan Jawa Pos, Sholihuddin,
yang jadi juara pertama untuk kategori Spot News Singles Photo tahun 1995.
Meski
sudah ada panduan penilaian, setiap tahun kriteria Photo of The Year selalu
berganti. Ini terutama bergantung pada penilaian anggota dewan juri. Tahun
2003, Elisabeth Biondi, ketua dewan juri yang juga redaktur visual majalah The
New Yorker punya penilaian tinggi terhadap foto yang berhasil menarik perhatian
dari keadaan tertentu dan menyentuh lewat simbol visual yang memaparkan fakta.
Tahun
2003 memang tahun perang, tapi fotojurnalistik itu tidak mesti menampilkan
situasi kontak senjata langsung. Kekejaman perang bisa ditampilkan dalam aneka
warna dan bentuk. Barangkali ini sejalan dengan pemikiran fotografer yang
langganan dapat penghargaan bergengsi Pulitzer, Peter Turnley, yang dimuat
dalam jurnal Nieman Reports tahun 2001. Di edisi khusus “Coverage Terrorism”,
Turnley menulis pengalamannya meliput selama sepuluh hari pasca tragedi
runtuhnya gedung World Trade Center, 11 September 2001. “Terutama dalam situasi
perang,” kata Turnley, “gambar-gambar penting bukan yang ada di tengah
tembak-tembakan; gambar-gambar itu ada setelah pertempuran, tatkala seseorang
menyaksikan dampaknya terhadap manusia.”
Jumat
petang, 13 Februari 2004, telepon genggam Tarmizy berbunyi. Ia tengah berada di
kendaraan.
“Selamat
ya. Kamu menang World Press Photo,” ujar Enny lewat telepon. Ia ikut bangga,
fotografer yang dibimbingnya meraih penghargaan internasional. Tarmizy adalah
fotografer Reuters di Indonesia yang pertama mendapat penghargaan ini.
“Ah,
yang benar?” Tarmizy tak percaya.
“Iya,
benar!”
Tarmizy
masih sangsi. Begitu tiba di rumah, ia membuka situs World Press Photo. Di situ
ia melihat foto Jean Marc Boujou, fotografer Associated Press, yang terpilih
menjadi World Press Photo of The Year 2003. Foto Boujou menggambarkan seorang
lelaki Irak yang menjadi tawanan tentara Amerika tengah memeluk anaknya. Kepala
lelaki itu tertutup kantong hitam. Tarmizy berhasil menemukan namanya
terpampang. Fotonya mendapat penghargaan Honorable Mention kategori Spot News
Singles Photo.
PAMERAN
WORLD Press Photo 2003 berlangsung di kota Amsterdam, Belanda. Selain
memamerkan foto-foto para pemenang, di situ juga digelar jumpa pers dan
seminar. Para pemenang berbagi pengalaman dengan fotografer lain maupun para
pengunjung. Acara itu digelar selama sepekan.
Tarmizy
mendapat kesempatan terbang ke Belanda dan mengikuti pameran World Press Photo.
Ia bertemu Jean Marc Boujou dan fotografer internasional lainnya. Walau menang,
Boujou rendah hati dan memberi apresiasi tinggi terhadap fotografer yang
bertugas di wilayah konflik. Tarmizy ikut kagum. Ia jadi makin yakin dengan
jalan yang dipilihnya sebagai fotografer.
Namun
sebulan setelah kembali ke Aceh, newsletter Aceh Media Watch mengkritik habis
foto Tarmizy. Penulis opini dalam media itu menilai Tarmizy sebagai fotografer
yang mengeruk popularitas, penghargaan dan bersenang-senang ke Amsterdam atas
penderitaan orang lain.
Tarmizy
dituding sebagai fotografer yang tak punya hati. Penulis opini juga
mempertanyakan mengapa ia tidak lebih dulu menolong dan melepaskan korban dari
ikatan di pohon pinang sebelum diambil fotonya. Si penulis opini
membandingkannya dengan Kevin Carter, fotografer Reuters yang bertugas di
Afrika.
Ketika
tragedi kelaparan melanda Sudan awal tahun 1990an, Carter memotret foto seorang
bocah Sudan yang kurus-kering sedang duduk tertunduk menahan lapar. Di belakang
bocah malang itu berdiri seekor burung nazar yang seperti tengah menunggu
kematiannya. Foto itu dimuat pada halaman utama media-media di dunia. Dunia
bereaksi terhadap bencana kelaparan di Sudan. Carter mendapat hadiah Pulitzer
atas foto dramatis itu. Namun kemenangannya dan penghargaan atas foto itu
dihujani kritik. Carter dituduh sebagai manusia tak bermoral. Beberapa minggu
kemudian Carter ditemukan tewas. Fotografer berumur 33 tahun itu bunuh diri
akibat menghisap gas karbon monoksida dalam mobil pikapnya.
Tarmizy
terkejut membaca opini itu. Selama seminggu ia bimbang. Tertekan. Ia minta
pendapat beberapa seniornya. Salinan opini itu juga ia kirim melalui faksimili
kepada Enny di Jakarta.
“Tidak
usah didengar,” ujar Enny lewat telepon. “sebelumnya sudah banyak
omongan-omongan jelek soal itu.”
Bea
Wiharta, fotografer Reuters lainnya, mendukung Tarmizy. Bea menyarankan agar ia
menulis surat keberatan. Belakangan Tarmizy memilih diam. Tak mau berpolemik.
Ia mengabaikan kritik itu. Sebaliknya, ia juga tidak ingin nasib dan kariernya
berujung seperti Carter. Ia menilai, efek dari foto memiliki kekuatan dan
manfaat yang jauh lebih besar. Ia berpegang pada prinsip bahwa Tuhan
menciptakan beragam manusia dengan tugasnya masing-masing. Sedangkan tugasnya
sebagai fotografer adalah mendokumentasikan dan mengabarkan kepada dunia dampak
kekejaman konflik yang terjadi di Aceh.
“SAYA
BERPIKIR, andai penghargaan itu berbentuk uang tunai, saya akan membagi hadiah
itu kepada mereka. Tapi ternyata tidak ada, ini bukan grand prize,” ujar
Tarmizy kepada saya.
Malam
itu, di muka Kantor Biro Antara Banda Aceh, saya bersama-sama wartawan lainnya
baru selesai membuka-buka halaman buku Inferno karya James Nachtwey milik
Tarmizy. Saya juga melihat foto-foto jepretan Tarmizy pasca bencana tsunami.
Hotli
Simanjuntak menilai, Tarmizy termasuk fotografer hebat.
“Apalagi
foto dari Aceh bisa dapat nominasi WPP. Aceh memang pantas karena isu-isu Aceh
jadi isu internasional. Dari foto Meji (Tarmizy) itu, dunia jadi tahu ada
pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di Aceh. Sebelumnya, yang dikenal dari
Indonesia kan cuma Bali,” kata Hotli.
“Dia
nggak pernah jaga jarak dengan fotografer-fotografer muda. Bahkan setelah dia
memenangkan sebuah penghargaan foto jurnalistik tingkat dunia sekalipun,” ujar
Binsar Bakkara, fotografer Associated Press.
Penghargaan
itu tak membuat Tarmizy menepuk dada. Ia belajar seperti Jean Marc Boujou dan
fotografer internasional lainnya yang rendah hati. Ia juga berniat untuk
membantu keluarga almarhum Muzakkir Abdullah.
“Sampai
sekarang, niat itu masih saya simpan. Mungkin kalau ada rezeki lain. Apalagi
sampai sekarang saya juga belum pernah bertemu keluarga korban lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar